Sabtu, 17 Desember 2011

Sandal Rumah dan Juru Kunci


Merendam Kuku

Sejak kecil, aku tahu cara memanjangkan kuku, beribu waktu yang terpikir olehku bertahan dari masa lalu, bertahan dari segenap amsal, ihwal lain pertengkaran. Beribu waktu telah jamak, telah memilih, dan beranak pinak – rahim ibu yang tak kunjung lepas dari bisu. Seperti aku yang juga tak kunjung reda dari bulan-bulanan memetik kuku di ambang pintu, pintu yang kata emak, jangan kau lakukan itu di waktu malam, sebab sesuntuk apapun kau, luka selalu datang dari arah rimba gelap, terkadang purnama.

Terkadang di ketagihan sementara tetek kita.

Mari kita tanggalkan kembali kegatalan yang sempat terlewatkan!







Pemotongan

X:
Tidak lagi, saudara. Langit kian pucat. Dan kita, mungkin tak akan lagi bersetia pada biskuit yang itu-itu juga, gula tebu yang selalu semanis dulu. Mungkin setan sudah selayaknya turut andil bagian, iblis mungkin akan memberi kesetiaan_santun pada arti pemenuhan_sehingga mawar mungkin akan berarti pemerkosaan terhadap ketidaktahuan dan melati mengajarkan kita untuk tertawa-tawa pada sejenis dosa yang semesti_tertimba. Lalu kita belajar menyebutnya: dosa setia.

Dan engkau kembali mencium bau kecut rumput itu pada tubuhku yang kian kisut. Meski memang kita akhirnya harus belajar memamah, menagih setiap waktu_hijau rumput di halaman belakang rumah, jemuran dan menyapa “halo” pada tetangga_setiap yang kau anggap saudara. Siapa tahu matahari yang semula selalu bias berubah cerai sehingga yang semula perkasa akhirnya jatuh. Dan kita belajar untuk cinta pada becek dan anak-anak. Kita mencoba untuk percaya bahwa ada yang mesti kita tandai sebagai kenangan, mungkin juga sebuah masa depan, yang liat. Sama halnya kita acuh pada kaca jendela swalayan ini, dan terus saja merapat pada kerlap-kerlip lampu di luar jendela yang sepenuhnya belum mengalahkan senja.

Y:
Cintaku padamu, mungkin, terlalu memanggung, mencoba membangun, setatap mata, setatap cinta, meski tak setenar Aming dan Luna Maya, paling tidak, aku masih mampu membuat sekarat saudara, setiap kafe, setiap sofa, setiap pantai, setiap senja. Mari ke pesta! Di sana, mungkin, masih ada segenggam kacang asin, juga segelas kopi untuk, sekedar, bersin pada celemek menu pertengahan. “Aku tak mau dimadu,” katamu setelah itu. Biarlah! Cermin akan selalu tertinggal. Tinggalkan, dan, jadilah perempuan, di sana ada keabadian. “Tapi mengapa engkau selalu memanggilku banci?” “Panggilah aku peri, sekali saja, sekali pergi, mengapa?”

“Berapa harga dirimu?” suatu waktu aku bertanya lagi padamu.

“Meski tak separuh harga uratmu, aku seharga kuku-kuku yang kurawat sekian lalu, tentunya kau tahukan, suatu ketika bisa juga jadi senjata pengaman,” jawabku, lalu kau ceruk aku, dasar nasib, mengapa jika ingin jadi perempuan harus belajar tampak sopan gonta-ganti posisi kaki lengan? Sesekali kau juga menggoyang betis, tapi untung aku klimis.

“Kau akan setia?” tanyaku lagi dengan nafas yang agak kubuat sepi. Kau seperti sibuk peduli, cermin yang tak mau kau tinggal pergi. Dan aku, tentulah saudara tahu, terjepit lagi.

“Masih yakinkah kau?”

“Masih pastikah kau?”

“Masih pastikah aku?”

“Potongkah aku?”







Mengerok

Jangan kau artikan ini sebagai kepincangan, sayang,
karena aku terlalu kaku untuk menggerakan tangan kiriku, mengusir angin yang telah lama berumah pada epidermisku,

dan jangan kau artikan ini sebagai masuk angin, sayang, karena aku telah memilih sendiri telanjang dalam kamar menulis kembali sepucuk sajak untukmu yang tentu saja akan kembali kau buang sebagai kenangan,

“aku suka kau mengirimkan sajak untukku, tapi beri tahulah aku maksud dari sajak-sajakmu”.

Jangan kau artikan sajak-sajakku sebagai maksud, sayang, tapi ada baiknya kau masuki saja, sebagai tamu yang telah lama kutunggu, sebagai kapuk yang telah lama ingin hanyut.

seperti itulah sajak-sajakku, sayang, berumah angin samudra, bertolak dari tungku kata-kata.

jangan pula kau artikan ini sebagai prasasti, sayang,
karena aku tak pernah bertitah pada tubuhku, padamu, juga angin yang merasuk itu.

aku hanya ingin seperti biasa saja.

jadi jika suatu ketika kau temui di lengan kiriku ada garis merah bekas kerok lagi, jangan kau limpahkan kesalahan itu pada uang logam yang kupilih untuk beradu, tapi salahkanlah aku yang tak ingin mengusir angin, membiarkannya berumah, memasang nomor alamat , dan memberi nama-nama baru dari setiap jalan yang telah dibangun tubuhku.

artinya,

tak perlu kau ragukan lagi jika dalam tubuhku juga ada kantor pos;

ini surat ke jalan saraf Sudirman;

yang ini ke saraf Soekarno;

yang ini ke saraf Bung Tomo;

yang ini ke saraf Romeo.

dan artinya pula,

telah ada komplek pemakaman dalam tubuhku, sayang, baik pemakaman keluarga maupun pemakaman umum.

Jangan terlalu kau pikirkan, sayang, toh garis merah itu telah menghitam.
















Menggaruk

Sekarang engkau aku tinggalkan, meninggalkan panas pada pori bekas gesek yang dulu sering kali kita layarkan saat hasrat bertemu lebih mendahului _rambut yang tumbuh pada bingkai tubuhmu. Dan berbahagialah kepada rambut, yang bersedia kita kafani, “meski matimu tak pernah utuh”. Dan berbahagialah kepada kita, rambut yang sering kali kita lukai (tanpa sadar) itu, tanpa harap, tanpa balas dendam, telah memilih tumbuh sampai pantas. Tumbuh tanpa memberi siluet, tanpa takut pada pingset, afitson, dan minyak pelicin otot-otot. “Sebab dingin tak pernah menyebabkan kami masuk angin, dan kami, sungguh, tak ada maksud lain, hanya memberi tanda bila kalian mulai merinding. Sungguh, kami hanya ingin bahwa kalian mulai ingin. Mulai berhenti pada sekian yang tak pernah lebih dari sedepa.”. Sekarang engkau aku tinggalkan, langsatmu suatu waktu akan pulih kembali, dan mungkin, aku akan sulit mengenalmu, maka bila, kau tak perlu sungkan menegurku, desis itu, amis itu, asin itu, tentu lebih abadi. Lebih peduli ketimbang kulit kita yang renta. Lebih berjanji ketimbang nafsu yang api. Sekarang engkau aku tinggalkan, dan sepi bukan milikmu, berlakulah seperti sudah-sudah, seperti rambut (tanpa dendam) akan tanggal.











Casandra

Bukan maksudku tak ingin mengerti
kerudung birumu itu, yang memendam
angin pada bingkai lehermu.

Memang akan selalu terpajang, tali waktu
yang tak mau putus, meski aku akhirnya
tiba pada tanggalan mampus.










Ada Saja

Ada saja yang tak percaya bahwa aku setia. Senja
yang tiba-tiba jadi jingga, menganggap, tak ada yang
perlu dimengerti. Semuanya telah biasa, dan tergantung musim yang menjelma jadi suasana. Kita pun ingin merdeka, dan engkau telah beranjak mengerti: cintakuabdi.











Bila Sandalku Telah Tiba Dinda

Bila sandalku telah tiba, dinda, hadapi saja_dunia yang serba ingin tetap tertulis bersih. Sebagai tamu, nantinya kau akan mengerti pergi. Beranjak dari sekian tema, dari sekian kepiting kembara. Tak ada salak anjing malam ini. Purnama belum tiba. Reranting mangga tak terdengar patah di ujung seketika. Kecuali bila kau anggap ini setia.










Mendaki Sandal

Kita memutuskan keluar rumah. Aku dari pintu depan, dan kau dari pintu dapur. Tak ada yang memilih pingsan atau kejang. Tak ada yang memilih “pecahkan!”. Tanpa membanting, kita memutuskan keluar, dan tak ada yang dibuat tergesa, sandal terpakai seperti biasa, menutup separuh ketelanjangan kaki kita, menutup luput dunia, khusuk dalam membran telinga.









Mengikat Pinggul Gorden

Cahaya apalagi yang kau persilahkan masuk,
bukankah sejak tadi kita tak mematikan lampu,
mematikan gigi palsu? Apakah kau tak ingin ikut
melihat rembulan? Tidak. Aku takut cemburu.













Bertemu Di Bukit Sandal
            -- Adam dan Hawa

Kita diawali pergi, dan mencoba saling mengunjungi,
mengetuk atau menjejak statusmu sebagai pencuri.














Sandal Kanan

Kita tidak mungkin meninggalkan sandal ini. Kehilangan kawan yang serba menatap kiri sama arti dengan cacat terpikul sendiri. Tunjukan rasa hormat abdi, meski disertasinya tentang jalan dan lahan bukan milik pribadi. Kita meski mencari si kiri. Tapi, kekasihku, mencuri adalah konsekuensi.











Mengunjungi Sandal

Selamat datang di halaman sembilan, di sini, setiap puisi diperkenankan singgah, menelaah kembali dirinya, kata per kata, larut per larut, sampai ketemu ia di titik cinta. Selamat datang. Di halaman ini, semua kaum papa tak tercatat, hanya pantulan di senggang kalimat, ada juga kue cookies, secangkir kopi moka, dan getar buah dada. Tak ada stensilan paragraf yang membuatmu meninggikan oktaf, menyanyi gereja tua. Atau meledak karena hujan begitu pemicu, angin gemuruh, hidung gaduh, ingus riuh. Selamat datang, di halaman ini takkan kau temui taman, sepasang angsa, dan kolam bermuka telaga, atau pun gugur purnama. Daun-daun, hanya mampu berucap: selamat atau besok lusa. Tiada betina yang akan kau temui, tiada ciuman yang serat di bibir. Selamat datang, dan biarkan angka-angka itu saling tindih, nanti, di setiap celahnya, akan kau temui tanggal, dan daun-daun akan menggenang sampai pelataran jalan. Saat itulah, kau akan yakin, tentang lorong-lorong sempit, nomor blok rumah, dan air panas yang tumpah. Kau akan mencium kembali bau tetangga dari setiap jemuran, dari berbagai sampah selokan. Bukankah dia Puput, yang jam tangannya kau buat luput? Matanya yang dulu kau sebut biru tualang, desisnya buih Samudra Hindia, pasirnya pantai Bengkulu. Dan jantungmu, dentum meriam ke gigir pantai. Aku tak suka pantai, aku suka pegunungan – di atasnya semakin dalam kulihat perjalanan. Kau seperti ingin menemukan tempat asing. Ingin menemukan setiap kelainan rambut, kulit, mata, hidung, dan senar pinggul. Padahal, yang justru sering karam di tengah lautan adalah keanekaragaman, kampung halaman penyair terlahir. Kau masih juga ingin nanap, dan kapan kau akan melepasnya masuk ke halaman sembilan, bertaruh kehidupan?

Tenggelam.


















Belajar Menerima Kekurangan

Setelah kau putuskan untuk terputus, aku berharap
tak tertinggal lagi di cincin tiraimu, seperti lampau,
beku dan tersudutkan. Apa lagi kini, tubuhku
tak mampu menjangkau, meluruskan segala tirai
dari cahaya yang menyengat. Dan selagi ini
terlukiskan, sebaiknya engkau menggantikan aku
dengan tali yang lebih panjang.










Perut Jendela

Aku mencoba melahirkan kembali apa yang aku punya
menjerit pada kelir bunga malam, mengental dalam suaka tembang.

Aku mencoba kembali menarik timba udara, dan berkaca bahwa air sumur tua merekahkan perut kita.











Memandikan Sandal

Kita mungkin telah memilih jalan yang salah,
menduduki pekarangan belakang rumah orang
yang  juga tak kunjung dipagar, hanya ditandai
beberapa tangkai selasih dan kemangi. Kita
mungkin tergesa-gesa untuk pulang, karena magrib
seperti datang tiba-tiba; masih ada yang belum disiangi; masih ada yang belum bersih dicuci. Tapi, “tolong!”, jangan kau maki sandalku yang putus ini.

Dia masih layak ditusuk peniti.







Sandal Jazz

Tak ada kemewahan di tangkai nada kita, hanya turbulensi di sekitar dada. Pecah dan lapang pintu kita. Tak ada hari baik untuk merajuk, menggoda kita untuk tertutup. Buka saja, tak perlu menunggu di balik pintu. Kecuali memang dari tadi aku tertipu.












Meletakkan Sandal

Di mana aku mesti meletakan sandal itu, ketika
yang sempat melirik tak mengira kepunyaannya?
Di depan pintu? Tidak. Tidak ada yang mau tahu
kepunyaanku atau kamu. Semestinya kita memberi tanda, mengukir nama yang (mungkin) tak sama. Kau seharusnya hilang dengan meninggalkan tanda bukti.











Sandal Kertas

Siapa yang terbilang laku
jadi secarik peristiwa kota Bandar
ketika sinar bulan menampakan yang tercemar
dari sudut-sudut gang? Semuanya
seperti cahaya yang berpendar jauh
dari pelabuhan. Dan kita kembali mengulang
mencatat kapal-kapal merapat
meski kita telah kehilangan tempat
dua baris lagi dari satu halaman kertas adat.








Sejajar

Sandal Senja:
Setelah senja datang, kita kembali melupakan sejenak
apa yang semula tak enak dibicarakan. Tik-tok langkahnya akan meyakinkan kita tentang malam yang akan tiba. Dan lampu-lampu, seperti biasa, mengabarkan kota ini berpenghuni. Ada jejak senja di pipimu, sayang. Ada langkah lelaki yang kau curi.

Sandal Januari:
Setelah engkau datang, kami seperti kehilangan tempat untuk beteduh, dan menunda waktu pertemuan. Kami seperti menunda waktu pergi, mengamati hujan yang pecah di dahan pepohonan. Ada juga langit. Setelah engkau datang, aku dan (mungkin) kamu, kembali menunggu pada dahan yang masih ragu.

Merapat Ke Dinding

Kali ini aku ingin kau merapat
ke dinding. Tubuh_badanku bau masam,
bau jalan-jalan. Kali ini saja, berhentilah
merapat ke pintu, macet, sayangku.













Bila Salah Memakai Sandal

Bila salah memakai sandal, dinda, tak perlu kau kembalikan. Pergilah, aku tetap menunggumu. Tetap menjaga sandalmu. Meletaknya, merapihkannya, sejajar dengan sandal-sandal di rumahku. Kau tak perlu takut larut malam, sandalku mengerti apa yang harus dilakukan. Apa yang (mungkin) kita anggap jangan.










Tak Ada yang Boleh Pergi Sendiri

Tak ada yang boleh pergi sendiri, meninggalkan dunia ini. Bawa serta keluarga dan seluruh keponakanmu. Bawa ampun sahabat-sahabatmu. Bawa serta, bila kau tak ingin, dianggap kecewa.













Menunduk Ke Sandal

Kita harus lebih banyak menunduk ke sandal. Membicarakan semua hal dengan jiwa terlapang. Tak ada lagi yang boleh bercerai. Kita boleh memilih jalan. Tetap boleh bercabang. Selagi kau ingat, aku tetap di belakang.












Mengubur Sandal

Berapa liang yang harus aku gali? Dua. Tapi apakah dapat mengubur keduanya dengan adil? Tidak. Tapi biarkan, keduanya tetap terkubur dalam keadaan
bertolak belakang. Atau saling berhadapan.













Sandal-sandal Di Belakang Jenazah

Apa yang akan kau bawa setelah pulang? Jejak sepasang sandal tetap tinggal, membelakangimu dan membelakangi pintu. Ada yang ingin mengatakan; tak terkatakan. Ada yang ingin lari; tetap tegar berjalan. Ada yang tetap menatap jauh ke depan; meski pingsan. Kita tak akan lagi berpapasan.











Menimba Sandal

Telah kutunjuk tali timbamu, dinda, menentukan dasar hidup kita. Tidak ada perjalanan yang lebih dalam. Tidak melelahkan. Letakkan. Setelah terasa kepermukaan. Sandingkan. Bulan di atas jalan. Cahaya di bibir tahan. Mengapa belum juga kau urut tanganku dengan balsam?











Menuruni Sandal

Kita tidak akan celaka.
Tetaplah di antara tapal batas keinginan.
Kita mengerem.
























Memanjat Sandal

Kau tahu, apa yang paling kutakutkan?
Memanjat. Setelahnya, tidak ada
kata lain selain jatuh. Coba,
seandainya erat kupegang sandalmu,
aku takkan mati karenamu.
Seandainya, ada kata lain selain
jatuh, setelahnya, kau tahu,
apa yang paling kutakutkan? Terbang,
dan tak kembali lagi padamu.








Rumah yang Tertumpuk

Kerja belum selesai. Belum sempat memperhitungkan 4-5 ribu spatula. Memasak saja. Bumbu seadanya. Seada cinta di dapur. Dan beberapa aroma baur. Setelah itu sunyi. Hidangan kita abadi.

Maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta, sayang. Tapi pikiran. Tapi perbuatan. yang tiba-tiba saja memerlukan uang kas dan cap beberapa berkas. Beberapa, di antaranya, ingin lunas. Tunai segala pias. Tuan, ada di rumah? Jam berapa? Besok saja, saya lelah.

Maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta, sayang, tapi pikiran. Tapi perbuatan. yang tiba-tiba saja rindu kampung halaman dan jejak perjalanan. Berapa usiamu? Sudah separuh gagu. Tapi, maaf, tak sempat aku mengantarmu ke masa lalu. Aku waktu.

Maka, jangan kau tibakan sajak ini, sebagai pintu, sayang. Tapi jarak. Batas antara halaman, dan ruang tengah lapang.

Maka, jangan kau ibakan sajak ini kepada buku tamu. Tapi penumpuk pikiran. Biarkan ia bercorak tanda tangan.

Tuan, ada di rumah?









Rumah Di Atas Kertas

Rumah yang akan kita bangun kelak, dinda, adalah rumah yang dibangun di atas sebidang kertas. Tanpa halaman, tanpa garis bantu kata-kata. Tanpa penjaga, tukang kebun, dan perempuan renta. Hanya ada kau dan aku. Hanya ada kita dan pohon mangga itu; yang kau cita-citakan ingin tumbuh dan dipetik buahnya; yang kita tambahkan baskom berisi air di bawahnya; yang suatu waktu merundukkan kita menatap bakalnya. Kita tetap berada di bawahnya.








Selagi Rambutmu Surut

Lima mayat kelopak bunga hanyut di atas arus rambutmu; kubiarkan begitu saja sebagai tanda;
tak habis-habisnya kita mencari cara.














Rumah Di Atas Sama Dengan

Rumah yang kami bangun di atas sama dengan ini,
telah memilih takdirnya sendiri untuk dijual. Kami
tidak mampu lagi mempertahankan tanah, kelopak rumah, dan tangga di penghujung pintu. Kami telah jatuh miskin.

Rumah yang kami bangun di atas samadengan ini,
telah banyak kami masukkan angka. Kami tidak punya lagi banyak kata.








Pergi dari Rumah

Mengapa kau ingin pergi dari rumah, sayang? Apa yang kelak kau santap di luar sana hanya bau merica. Tak ada bumbu sempurna. Tergantung kita merasakannya. Kau ingin pergi juga? Sebentar lagi senja. Dan rumah-rumah yang akan kau tatap seperti tampak tanpa penghuni. Taman halaman sepi. Atau sebuah kecelakaan panjang, kita larut berbincang di teras depan. Dasar tak tahu aturan. Orang-orang mengatai kita, bahwa setiap senja, kita telah tidak setia. Seharusnya kau bicara, pengertian selalu berawal dari rencana. Setelah senja, kita memilih pergi dari rumah. Beberapa tetangga, melihat-lihat saja.





Juru Selamat Pertama
(percepatan)

Kau, mungkin, baru saja selesai mandi. “Tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong ibu. membersihkan tempat tidurku. Bantal guling bau
pesing.”. Dan aku, mungkin, baru saja menyelesaikan administrasi. “Anda harus mendaftar jika ingin masuk penjara. Jika anda ada uang, bisa kami percepat.”. Anda tahu, sebelum masuk penjara saja, kami harus mengantri. Dua jam, mungkin, dari anda mandi sampai mengentri data lagi.







Juru Selamat Kedua
(gravitasi)

Kau tahu, apa yang paling kutakutkan? Medan gavitasi. Tapi kali ini, dia (mungkin) bisa jadi penyelamatku dari masalalu. Aku bukan orang yang takut dengan ketinggian. Seperti yang kau duga sebelumnya. Tapi aku memang takut jatuh. Semula aku percaya, jika kita tidak terpaksa sedikitpun terjun dari suatu ketinggian; pada saat itulah kita sadar; ketinggian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Tapi sebuah harapan. Mungkin juga sebuah 'aksen' tegas betapa aku memang berjarak denganmu. Ketika kau membaca blogku ini, kau harus yakin, jarak di antara kita, sesungguhnya hanyalah sebuah konversi dari kilobyte ketinggian. Tak sampai 10 m untuk jatuh.



Juru Penanya Pertama

Mengapa kau lari dariku? Mengapa kau ingin jauh dariku?

Mengapa pergi selalu lebih dekat denganmu?

Seandainya, masalalu, dapat kita tempuh dengan berjalan kaki saja, tentu kau tahu jawabanku. Tentu.


















Konsisten

Kita telah memilih jalan ini untuk berbalapan.
Tanpa percakapan; atau sebuah pukulan.
Tak ada yang terpaksa; atau sebuah pistol di tangan.
Selintas memang, kau melihatku agak marah,
rumah yang telah lama kita bangun,
hancur; atau terlanjur digusur.
“Surat rumah kita tidak lengkap,” katamu.
Tapi cinta kita lengkap.

Seseorang, yang mungkin kamu, terlanjur
tidak berkata-kata; atau menanyakan
silsilah tanah, keringat tumpah, sesayat darah
yang turun-temurun terkubur bersama,
seseorang  yang mungkin kamu; tetangga.

kita, atau mungkin kamu, telah memilih jalan ini,
yang terlanjur diproyek menikung, dan tentu tahu
resiko salah berhitung.


















Juru Berangkat Kami

kami yang tidak pernah berhak memiliki;
izinkanlah kami pergi.