Merendam Kuku
Sejak kecil, aku tahu cara memanjangkan kuku, beribu
waktu yang terpikir olehku bertahan dari masa lalu, bertahan dari segenap
amsal, ihwal lain pertengkaran. Beribu waktu telah jamak, telah memilih, dan
beranak pinak – rahim ibu yang tak kunjung lepas dari bisu. Seperti aku yang
juga tak kunjung reda dari bulan-bulanan memetik kuku di ambang pintu, pintu
yang kata emak, jangan kau lakukan itu di waktu malam, sebab sesuntuk apapun
kau, luka selalu datang dari arah rimba gelap, terkadang purnama.
Terkadang di ketagihan sementara tetek kita.
Mari kita tanggalkan kembali kegatalan yang sempat
terlewatkan!
Pemotongan
X:
Tidak lagi, saudara.
Langit kian pucat. Dan kita, mungkin tak akan lagi bersetia pada biskuit yang
itu-itu juga, gula tebu yang selalu semanis dulu. Mungkin setan sudah
selayaknya turut andil bagian, iblis mungkin akan memberi kesetiaan_santun pada
arti pemenuhan_sehingga mawar mungkin akan berarti pemerkosaan terhadap
ketidaktahuan dan melati mengajarkan kita untuk tertawa-tawa pada sejenis dosa
yang semesti_tertimba. Lalu kita belajar menyebutnya: dosa setia.
Dan engkau kembali
mencium bau kecut rumput itu pada tubuhku yang kian kisut. Meski memang kita
akhirnya harus belajar memamah, menagih setiap waktu_hijau rumput di halaman
belakang rumah, jemuran dan menyapa “halo” pada tetangga_setiap yang kau anggap
saudara. Siapa tahu matahari yang semula selalu bias berubah cerai sehingga
yang semula perkasa akhirnya jatuh. Dan kita belajar untuk cinta pada becek dan
anak-anak. Kita mencoba untuk percaya bahwa ada yang mesti kita tandai sebagai
kenangan, mungkin juga sebuah masa depan, yang liat. Sama halnya kita acuh pada
kaca jendela swalayan ini, dan terus saja merapat pada kerlap-kerlip lampu di
luar jendela yang sepenuhnya belum mengalahkan senja.
Y:
Cintaku padamu, mungkin,
terlalu memanggung, mencoba membangun, setatap mata, setatap cinta, meski tak
setenar Aming dan Luna Maya, paling tidak, aku masih mampu membuat sekarat
saudara, setiap kafe, setiap sofa, setiap pantai, setiap senja. Mari ke pesta!
Di sana, mungkin, masih ada segenggam kacang asin, juga segelas kopi untuk,
sekedar, bersin pada celemek menu pertengahan. “Aku tak mau dimadu,” katamu
setelah itu. Biarlah! Cermin akan selalu tertinggal. Tinggalkan, dan, jadilah
perempuan, di sana ada keabadian. “Tapi mengapa engkau selalu memanggilku
banci?” “Panggilah aku peri, sekali saja, sekali pergi, mengapa?”
“Berapa harga dirimu?”
suatu waktu aku bertanya lagi padamu.
“Meski tak separuh harga
uratmu, aku seharga kuku-kuku yang kurawat sekian lalu, tentunya kau tahukan,
suatu ketika bisa juga jadi senjata pengaman,” jawabku, lalu kau ceruk aku,
dasar nasib, mengapa jika ingin jadi perempuan harus belajar tampak sopan
gonta-ganti posisi kaki lengan? Sesekali kau juga menggoyang betis, tapi untung
aku klimis.
“Kau akan setia?”
tanyaku lagi dengan nafas yang agak kubuat sepi. Kau seperti sibuk peduli, cermin
yang tak mau kau tinggal pergi. Dan aku, tentulah saudara tahu, terjepit lagi.
“Masih yakinkah kau?”
“Masih pastikah kau?”
“Masih pastikah aku?”
“Potongkah aku?”
Mengerok
Jangan kau artikan ini sebagai kepincangan,
sayang,
karena aku terlalu kaku untuk menggerakan tangan
kiriku, mengusir angin yang telah lama berumah pada epidermisku,
dan jangan kau artikan ini sebagai masuk angin,
sayang, karena aku telah memilih sendiri telanjang dalam kamar menulis kembali
sepucuk sajak untukmu yang tentu saja akan kembali kau buang sebagai kenangan,
“aku suka kau mengirimkan sajak untukku, tapi beri
tahulah aku maksud dari sajak-sajakmu”.
Jangan kau artikan sajak-sajakku sebagai maksud,
sayang, tapi ada baiknya kau masuki saja, sebagai tamu yang telah lama
kutunggu, sebagai kapuk yang telah lama ingin hanyut.
seperti itulah sajak-sajakku, sayang, berumah
angin samudra, bertolak dari tungku kata-kata.
jangan pula kau artikan ini sebagai prasasti,
sayang,
karena aku tak pernah bertitah pada tubuhku, padamu,
juga angin yang merasuk itu.
aku hanya ingin seperti biasa saja.
jadi jika suatu ketika kau temui di lengan kiriku
ada garis merah bekas kerok lagi, jangan kau limpahkan kesalahan itu pada uang
logam yang kupilih untuk beradu, tapi salahkanlah aku yang tak ingin mengusir
angin, membiarkannya berumah, memasang nomor alamat , dan memberi nama-nama
baru dari setiap jalan yang telah dibangun tubuhku.
artinya,
tak perlu kau ragukan lagi jika dalam tubuhku juga
ada kantor pos;
ini surat ke jalan saraf Sudirman;
yang ini ke saraf Soekarno;
yang ini ke saraf Bung Tomo;
yang ini ke saraf Romeo.
dan artinya pula,
telah ada komplek pemakaman dalam tubuhku, sayang,
baik pemakaman keluarga maupun pemakaman umum.
Jangan terlalu kau pikirkan, sayang, toh
garis merah itu telah menghitam.
Menggaruk
Sekarang engkau aku tinggalkan, meninggalkan panas
pada pori bekas gesek yang dulu sering kali kita layarkan saat hasrat bertemu
lebih mendahului _rambut yang tumbuh pada bingkai tubuhmu. Dan berbahagialah
kepada rambut, yang bersedia kita kafani, “meski matimu tak pernah utuh”. Dan berbahagialah kepada
kita, rambut yang sering kali kita lukai (tanpa sadar) itu, tanpa harap, tanpa
balas dendam, telah memilih tumbuh sampai pantas. Tumbuh tanpa memberi siluet,
tanpa takut pada pingset, afitson, dan minyak pelicin otot-otot. “Sebab dingin
tak pernah menyebabkan kami masuk angin, dan kami, sungguh, tak ada maksud
lain, hanya memberi tanda bila kalian mulai merinding. Sungguh, kami hanya
ingin bahwa kalian mulai ingin. Mulai berhenti pada sekian yang tak pernah
lebih dari sedepa.”. Sekarang engkau aku tinggalkan, langsatmu suatu waktu akan
pulih kembali, dan mungkin, aku akan sulit mengenalmu, maka bila, kau tak perlu
sungkan menegurku, desis itu, amis itu, asin itu, tentu lebih abadi. Lebih
peduli ketimbang kulit kita yang renta. Lebih berjanji ketimbang nafsu yang
api. Sekarang engkau aku tinggalkan, dan sepi bukan milikmu, berlakulah seperti
sudah-sudah, seperti rambut (tanpa dendam) akan tanggal.
Casandra
Bukan maksudku tak ingin mengerti
kerudung birumu itu, yang memendam
angin pada bingkai lehermu.
Memang akan selalu terpajang, tali waktu
yang tak mau putus, meski aku akhirnya
tiba pada tanggalan mampus.
Ada Saja
Ada saja yang tak percaya bahwa aku setia. Senja
yang tiba-tiba jadi jingga, menganggap, tak ada
yang
perlu dimengerti. Semuanya telah biasa, dan tergantung
musim yang menjelma jadi suasana. Kita pun ingin merdeka, dan engkau telah
beranjak mengerti: cintakuabdi.
Bila Sandalku Telah Tiba Dinda
Bila sandalku telah tiba, dinda, hadapi saja_dunia
yang serba ingin tetap tertulis bersih. Sebagai tamu, nantinya kau akan
mengerti pergi. Beranjak dari sekian tema, dari sekian kepiting kembara. Tak
ada salak anjing malam ini. Purnama belum tiba. Reranting mangga tak terdengar
patah di ujung seketika. Kecuali bila kau anggap ini setia.
Mendaki Sandal
Kita memutuskan keluar rumah. Aku dari pintu
depan, dan kau dari pintu dapur. Tak ada yang memilih pingsan atau kejang. Tak
ada yang memilih “pecahkan!”. Tanpa membanting, kita memutuskan keluar, dan tak
ada yang dibuat tergesa, sandal terpakai seperti biasa, menutup separuh
ketelanjangan kaki kita, menutup luput dunia, khusuk dalam membran telinga.
Mengikat Pinggul Gorden
Cahaya apalagi yang kau persilahkan masuk,
bukankah sejak tadi kita tak mematikan lampu,
mematikan gigi palsu? Apakah kau tak ingin ikut
melihat rembulan? Tidak. Aku takut cemburu.
Bertemu Di Bukit Sandal
-- Adam dan Hawa
Kita diawali pergi, dan mencoba saling mengunjungi,
mengetuk atau menjejak statusmu sebagai pencuri.
Sandal Kanan
Kita tidak mungkin meninggalkan sandal ini.
Kehilangan kawan yang serba menatap kiri sama arti dengan cacat terpikul
sendiri. Tunjukan rasa hormat abdi, meski disertasinya tentang jalan dan lahan
bukan milik pribadi. Kita meski mencari si kiri. Tapi, kekasihku, mencuri
adalah konsekuensi.
Mengunjungi Sandal
Selamat datang di halaman sembilan, di sini,
setiap puisi diperkenankan singgah, menelaah kembali dirinya, kata per kata,
larut per larut, sampai ketemu ia di titik cinta. Selamat datang. Di halaman
ini, semua kaum papa tak tercatat, hanya pantulan di senggang kalimat, ada juga
kue cookies, secangkir kopi moka, dan getar buah dada. Tak ada stensilan
paragraf yang membuatmu meninggikan oktaf, menyanyi gereja tua. Atau meledak
karena hujan begitu pemicu, angin gemuruh, hidung gaduh, ingus riuh. Selamat
datang, di halaman ini takkan kau temui taman, sepasang angsa, dan kolam
bermuka telaga, atau pun gugur purnama. Daun-daun, hanya mampu berucap: selamat
atau besok lusa. Tiada betina yang akan kau temui, tiada ciuman yang serat di
bibir. Selamat datang, dan biarkan angka-angka itu saling tindih, nanti, di
setiap celahnya, akan kau temui tanggal, dan daun-daun akan menggenang sampai
pelataran jalan. Saat itulah, kau akan yakin, tentang lorong-lorong sempit,
nomor blok rumah, dan air panas yang tumpah. Kau akan mencium kembali bau
tetangga dari setiap jemuran, dari berbagai sampah selokan. Bukankah dia Puput,
yang jam tangannya kau buat luput? Matanya yang dulu kau sebut biru tualang,
desisnya buih Samudra Hindia, pasirnya pantai Bengkulu. Dan jantungmu, dentum
meriam ke gigir pantai. Aku tak suka pantai, aku suka pegunungan – di atasnya
semakin dalam kulihat perjalanan. Kau seperti ingin menemukan tempat asing.
Ingin menemukan setiap kelainan rambut, kulit, mata, hidung, dan senar pinggul.
Padahal, yang justru sering karam di tengah lautan adalah keanekaragaman,
kampung halaman penyair terlahir. Kau masih juga ingin nanap, dan kapan kau
akan melepasnya masuk ke halaman sembilan, bertaruh kehidupan?
Tenggelam.
Belajar Menerima Kekurangan
Setelah kau putuskan untuk terputus, aku berharap
tak tertinggal lagi di cincin tiraimu, seperti
lampau,
beku dan tersudutkan. Apa lagi kini, tubuhku
tak mampu menjangkau, meluruskan segala tirai
dari cahaya yang menyengat. Dan selagi ini
terlukiskan, sebaiknya engkau menggantikan aku
dengan tali yang lebih panjang.
Perut Jendela
Aku mencoba melahirkan kembali apa yang aku punya
menjerit pada kelir bunga malam, mengental dalam
suaka tembang.
Aku mencoba kembali menarik timba udara, dan
berkaca bahwa air sumur tua merekahkan perut kita.
Memandikan Sandal
Kita mungkin telah memilih jalan yang salah,
menduduki pekarangan belakang rumah orang
yang juga
tak kunjung dipagar, hanya ditandai
beberapa tangkai selasih dan kemangi. Kita
mungkin tergesa-gesa untuk pulang, karena magrib
seperti datang tiba-tiba; masih ada yang belum
disiangi; masih ada yang belum bersih dicuci. Tapi, “tolong!”, jangan kau maki
sandalku yang putus ini.
Dia masih layak ditusuk peniti.
Sandal Jazz
Tak ada kemewahan di tangkai nada kita, hanya
turbulensi di sekitar dada. Pecah dan lapang pintu kita. Tak ada hari baik
untuk merajuk, menggoda kita untuk tertutup. Buka saja, tak perlu menunggu di
balik pintu. Kecuali memang dari tadi aku tertipu.
Meletakkan Sandal
Di mana aku mesti meletakan sandal itu, ketika
yang sempat melirik tak mengira kepunyaannya?
Di depan pintu? Tidak. Tidak ada yang mau tahu
kepunyaanku atau kamu. Semestinya kita memberi
tanda, mengukir nama yang (mungkin) tak sama. Kau seharusnya hilang dengan
meninggalkan tanda bukti.
Sandal Kertas
Siapa yang terbilang laku
jadi secarik peristiwa kota Bandar
ketika sinar bulan menampakan yang tercemar
dari sudut-sudut gang? Semuanya
seperti cahaya yang berpendar jauh
dari pelabuhan. Dan kita kembali mengulang
mencatat kapal-kapal merapat
meski kita telah kehilangan tempat
dua baris lagi dari satu halaman kertas adat.
Sejajar
Sandal Senja:
Setelah senja datang, kita kembali melupakan
sejenak
apa yang semula tak enak dibicarakan. Tik-tok
langkahnya akan meyakinkan kita tentang malam yang akan tiba. Dan lampu-lampu,
seperti biasa, mengabarkan kota ini berpenghuni. Ada jejak senja di pipimu,
sayang. Ada langkah lelaki yang kau curi.
Sandal Januari:
Setelah engkau datang, kami seperti kehilangan
tempat untuk beteduh, dan menunda waktu pertemuan. Kami seperti menunda waktu
pergi, mengamati hujan yang pecah di dahan pepohonan. Ada juga langit. Setelah
engkau datang, aku dan (mungkin) kamu, kembali menunggu pada dahan yang masih
ragu.
Merapat Ke Dinding
Kali ini aku ingin kau merapat
ke dinding. Tubuh_badanku bau masam,
bau jalan-jalan. Kali ini saja, berhentilah
merapat ke pintu, macet, sayangku.
Bila Salah Memakai Sandal
Bila salah memakai sandal, dinda, tak perlu kau
kembalikan. Pergilah, aku tetap menunggumu. Tetap menjaga sandalmu. Meletaknya,
merapihkannya, sejajar dengan sandal-sandal di rumahku. Kau tak perlu takut
larut malam, sandalku mengerti apa yang harus dilakukan. Apa yang (mungkin)
kita anggap jangan.
Tak Ada yang Boleh Pergi Sendiri
Tak ada yang boleh pergi sendiri, meninggalkan
dunia ini. Bawa serta keluarga dan seluruh keponakanmu. Bawa ampun sahabat-sahabatmu.
Bawa serta, bila kau tak ingin, dianggap kecewa.
Menunduk Ke Sandal
Kita harus lebih banyak menunduk ke sandal. Membicarakan
semua hal dengan jiwa terlapang. Tak ada lagi yang boleh bercerai. Kita boleh
memilih jalan. Tetap boleh bercabang. Selagi kau ingat, aku tetap di belakang.
Mengubur Sandal
Berapa liang yang harus aku gali? Dua. Tapi apakah
dapat mengubur keduanya dengan adil? Tidak. Tapi biarkan, keduanya tetap
terkubur dalam keadaan
bertolak belakang. Atau saling berhadapan.
Sandal-sandal Di Belakang Jenazah
Apa yang akan kau bawa setelah pulang? Jejak
sepasang sandal tetap tinggal, membelakangimu dan membelakangi pintu. Ada yang
ingin mengatakan; tak terkatakan. Ada yang ingin lari; tetap tegar berjalan.
Ada yang tetap menatap jauh ke depan; meski pingsan. Kita tak akan lagi
berpapasan.
Menimba Sandal
Telah kutunjuk tali timbamu, dinda, menentukan
dasar hidup kita. Tidak ada perjalanan yang lebih dalam. Tidak melelahkan.
Letakkan. Setelah terasa kepermukaan. Sandingkan. Bulan di atas jalan. Cahaya
di bibir tahan. Mengapa belum juga kau urut tanganku dengan balsam?
Menuruni Sandal
Kita tidak akan celaka.
Tetaplah di antara tapal batas keinginan.
Kita mengerem.
Memanjat Sandal
Kau tahu, apa yang paling kutakutkan?
Memanjat. Setelahnya, tidak ada
kata lain selain jatuh. Coba,
seandainya erat kupegang sandalmu,
aku takkan mati karenamu.
Seandainya, ada kata lain selain
jatuh, setelahnya, kau tahu,
apa yang paling kutakutkan? Terbang,
dan tak kembali lagi padamu.
Rumah yang Tertumpuk
Kerja belum selesai. Belum sempat
memperhitungkan 4-5 ribu spatula. Memasak saja. Bumbu seadanya. Seada cinta di
dapur. Dan beberapa aroma baur. Setelah itu sunyi. Hidangan kita abadi.
Maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta,
sayang. Tapi pikiran. Tapi perbuatan. yang tiba-tiba saja memerlukan uang kas
dan cap beberapa berkas. Beberapa, di antaranya, ingin lunas. Tunai segala
pias. Tuan, ada di rumah? Jam berapa? Besok saja, saya lelah.
Maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta,
sayang, tapi pikiran. Tapi perbuatan. yang tiba-tiba saja rindu kampung halaman
dan jejak perjalanan. Berapa usiamu? Sudah separuh gagu. Tapi, maaf, tak sempat
aku mengantarmu ke masa lalu. Aku waktu.
Maka, jangan kau tibakan sajak ini, sebagai pintu,
sayang. Tapi jarak. Batas antara halaman, dan ruang tengah lapang.
Maka, jangan kau ibakan sajak ini kepada buku
tamu. Tapi penumpuk pikiran. Biarkan ia bercorak tanda tangan.
Tuan, ada di rumah?
Rumah Di Atas Kertas
Rumah yang akan kita bangun kelak, dinda, adalah
rumah yang dibangun di atas sebidang kertas. Tanpa halaman, tanpa garis bantu
kata-kata. Tanpa penjaga, tukang kebun, dan perempuan renta. Hanya ada kau dan
aku. Hanya ada kita dan pohon mangga itu; yang kau cita-citakan ingin tumbuh
dan dipetik buahnya; yang kita tambahkan baskom berisi air di bawahnya; yang
suatu waktu merundukkan kita menatap bakalnya. Kita tetap berada di bawahnya.
Selagi Rambutmu Surut
Lima mayat kelopak bunga hanyut di atas arus
rambutmu; kubiarkan begitu saja sebagai tanda;
tak habis-habisnya kita mencari cara.
Rumah Di Atas Sama Dengan
Rumah yang kami bangun di atas sama dengan ini,
telah memilih takdirnya sendiri untuk dijual. Kami
tidak mampu lagi mempertahankan tanah, kelopak
rumah, dan tangga di penghujung pintu. Kami telah jatuh miskin.
Rumah yang kami bangun di atas samadengan ini,
telah banyak kami masukkan angka. Kami tidak punya
lagi banyak kata.
Pergi dari Rumah
Mengapa kau ingin pergi dari rumah, sayang? Apa
yang kelak kau santap di luar sana hanya bau merica. Tak ada bumbu sempurna.
Tergantung kita merasakannya. Kau ingin pergi juga? Sebentar lagi senja. Dan
rumah-rumah yang akan kau tatap seperti tampak tanpa penghuni. Taman halaman
sepi. Atau sebuah kecelakaan panjang, kita larut berbincang di teras depan. Dasar
tak tahu aturan. Orang-orang mengatai kita, bahwa setiap senja, kita
telah tidak setia. Seharusnya kau bicara, pengertian selalu berawal dari
rencana. Setelah senja, kita memilih pergi dari rumah. Beberapa tetangga,
melihat-lihat saja.
Juru Selamat Pertama
(percepatan)
Kau, mungkin, baru saja selesai mandi. “Tidak lupa
menggosok gigi. Habis mandi kutolong ibu. membersihkan tempat tidurku. Bantal
guling bau
pesing.”. Dan aku, mungkin, baru saja
menyelesaikan administrasi. “Anda harus mendaftar jika ingin masuk penjara.
Jika anda ada uang, bisa kami percepat.”. Anda tahu, sebelum masuk penjara
saja, kami harus mengantri. Dua jam, mungkin, dari anda mandi sampai mengentri
data lagi.
Juru Selamat Kedua
(gravitasi)
Kau tahu, apa yang paling kutakutkan? Medan
gavitasi. Tapi kali ini, dia (mungkin) bisa jadi penyelamatku dari masalalu.
Aku bukan orang yang takut dengan ketinggian. Seperti yang kau duga sebelumnya.
Tapi aku memang takut jatuh. Semula aku percaya, jika kita tidak terpaksa
sedikitpun terjun dari suatu ketinggian; pada saat itulah kita sadar;
ketinggian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Tapi sebuah harapan. Mungkin
juga sebuah 'aksen' tegas betapa aku memang berjarak denganmu. Ketika kau
membaca blogku ini, kau harus yakin, jarak di antara kita, sesungguhnya
hanyalah sebuah konversi dari kilobyte ketinggian. Tak sampai 10 m untuk
jatuh.
Juru Penanya Pertama
Mengapa kau lari dariku? Mengapa kau ingin jauh
dariku?
Mengapa pergi selalu lebih dekat denganmu?
Seandainya, masalalu, dapat kita tempuh dengan
berjalan kaki saja, tentu kau tahu jawabanku. Tentu.
Konsisten
Kita telah memilih jalan ini untuk berbalapan.
Tanpa percakapan; atau sebuah pukulan.
Tak ada yang terpaksa; atau sebuah pistol di
tangan.
Selintas memang, kau melihatku agak marah,
rumah yang telah lama kita bangun,
hancur; atau terlanjur digusur.
“Surat rumah kita tidak lengkap,” katamu.
Tapi cinta kita lengkap.
Seseorang, yang mungkin kamu, terlanjur
tidak berkata-kata; atau menanyakan
silsilah tanah, keringat tumpah, sesayat darah
yang turun-temurun terkubur bersama,
seseorang yang
mungkin kamu; tetangga.
kita, atau mungkin kamu, telah memilih jalan ini,
yang terlanjur diproyek menikung, dan tentu tahu
resiko salah berhitung.
Juru Berangkat Kami
kami yang tidak pernah berhak memiliki;
izinkanlah kami pergi.